Istilah
"gondang" dalam bahasa Mandailing memiliki banyak arti antara lain:
alat musik, gabungan dari beberapa alat musik (ensambel), nama lagu atau
repertoar, irama atau pola ritmik, sebagai musik itu sendiri dan jenis musik
tertentu. Sedangkan istilah "Mandailing" mengandung pengertian
"budaya" dan "teritorial", artinya suatu kelompok etnik
yang mendiami dataran tinggi di pedalaman pantai barat daya pulau Sumatra
dengan batas-batas wilayah tertentu.
Ruang simbolik ekologis secara
sederhana adalah ruang penggunaan kearifan budaya dalam bentuk material dasar
Gondang Sambilan dan perubahan yang terjadi pada saat sekarang ini. Simbolik
ekologis mencakup produksi simbol sosial dalam ruang urban (kota), ini memberi
gambaran bahwa simbolik ekologis timbul karena adanya permintaan ekologis yang
disesuaikan dengan ruang dan konteksnya, gambaran ini akan mengantarkan pada
pemahaman mengenai imaji ruang simbolik ekologis yang terjadi pada Gondang
Sambilan di Kota Medan. Nas (1998) memberi gambaran jelas mengenai simbolik
ekologis sebagai proses elaborasi antara kemampuan kultural dengan ekologi
sosial, dimana situasi ekologi bergantung dengan kemampuan dan ketersediaan
pada konteks kehidupan sosial masyarakat.
Keadaan ini menyebabkan manusia memiliki kemampuan adaptasi
yang dipraktekkan dalam usaha menyesuaikan kehidupan dengan ketersediaan alam.
Untuk menemukan pola interaksi antara sosial masyarakat dan ekologis maka
penting untuk mendudukan pemahaman mengenai sosial masyarakat (etnis) dan
ekologis yang terbentuk dari wilayah kekuasaan sosial masyarakat tersebut.
Suku dapat dilihat sebagai
suatu kesatuan komunal yang menetap pada suatu wilayah serta dibatasi oleh
batas-batas geografis, pendapat ini mungkin memiliki kebenaran pada satu sisi
namun pada sisi lainnya pendapat ini memiliki kekurangan dalam mendeskripsikan
apa sesungguhnya suku. Definisi tentang suku Batak (Purba, 2004:50-51) adalah
terdiri dari enam sub-grup, yaitu Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing
dan Angkola, keenam sub-group tersebut terdistribusi di sekeliling Danau Toba
kecuali Mandailing dan Angkola yang hidup relatif jauh dari daerah Danau Toba,
dekat ke perbatasan Sumatera Barat, di dalam kehidupan sehari-hari banyak orang
mengasosiasikan kata “Batak” dengan “orang Batak Toba”. Sebaliknya grup yang lain lebih
memilih menggunakan nama sub-grupnya seperti Karo, Pakpak, Simalungun,
Mandailing dan Angkola. Keberadaan Batak sebagai bentuk masyarakat dengan
karakteristik dinamis dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi serta faktor
perubahan yang menyebabkannya diungkapkan oleh Sibeth (1991:7) sebagai :“The
Batak are very dynamic and self confidence people. Over the centuries they have
able to guard their homeland against intrusion by foreigners, and it is only in
the last 100 years that their way of life and culture has undergone a great
change under the impact Christianity, Islam and colonialism.” Mengutip tulisan
Kozok (2009:11) yang menjelaskan mengenai penggunaan istilah “Batak” yang pada
saat ini sudah jarang dipergunakan sebagai istilah yang merujuk pada kelompok
etnis, walaupun pada awalnya istilah “Batak” lazim dipergunakan pada masa
prakolonial hingga awal penjajahan untuk merujuk pada kelompok etnis Batak itu
sendiri. Hodges (2009:75) turut memberikan definisi mengenai Batak sebagai
bentuk suku (etnis) yang mendiami wilayah Sumatera Utara dan terbagi atas enam
sub-grup Batak (Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, Angkola) yang
berbagi persamaan dalam aspek struktur sosial, adat dan sejarah. Secara
linguistik, Batak terbagi atas tiga wilayah, yaitu : a. Mandailing, Angkola dan
Toba di wilayah selatan, b. Pakpak dan Karo di utara, c. Simalungun di wilayah
timur laut. Batak dalam persepsi kebudayaan dapat diterjemahkan sebagai suku
yang mendiami wilayah geografis Sumatera Utara, namun pendapat lainnya
mengatakan bahwa Batak tidak terbatas pada wilayah geografis Sumatera Utara
saja melainkan diluar cakupan tersebut juga termasuk sebagai bagian Batak
dengan syarat mutlak memiliki garis keturunan Batak (patrilineal). Secara
geografis suku Batak-Mandailing mencakup wilayah Tapanuli Selatan secara umum,
wilayah Tapanuli Selatan terdiri beberapa bagian, yaitu : Kota Padang
Sidempuan, Padang Lawas Utara, Padang Lawas Selatan, dan Mandailing Natal.
Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1998 dibentuk Kabupaten
Mandailing Natal yang terpisah dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Deskripsi
mengenai suku Batak-Mandailing penting untuk menegaskan masyarakat yang menjadi
pengguna hasil ekologis.
Gondang Sambilan sebagai bentuk alat musik pukul (membranophone) merupakan identitas musik yang dimiliki oleh masyarakat Batak-Mandailing, Gondang Sambilan memiliki karakteristik sebagai alat musik pukul yang berasal dari Sumatera Utara Gondang Sambilan secara harfiah berarti sembilan buah gendang, Sembilan buah gendang yang terkait dengan instrumen musik lainnya, pengertian Gondang Sambilan merupakan penjelasan yang mencakup keseluruhan ensambel Gondang Sambilan termasuk gong, simbal, dan alat musik tiup masyarakat Mandailing Pengertian secara harfiah gondang mengandung beberapa arti: (1) alat musik; (2) nama lagu atau repertoar; (3) komposisi musik; (4) jenis musik tertentu; dan (5) sebagai musik itu sendiri. Istilah Gondang, ada kaitanya dengan sistem bercocok tanam orang Mandailing di hauma (berladang di bukit-bukit, baik tanaman palawija maupun padi). Dalam bercocok tanam di hauma ini, ada satu alat semacam "tugal" yang disebut ordang yang digunakan untuk melubangi tanah, setelah tanah berlubang barulah biji-biji tanaman dimasukkan ke dalam tanah dan kemudian ditutup seperlunya dengan tanah. Proses kegiatan bercocok tanam ini disebut mangordang, sedangkan Siregar (1977:87) mendefinisikan Gondang merupakan gendang, dalam arti gondang tunggu-tunggu dua, Gondang adalah gendang, dalam artian sebagai gendang besar (dalam hal ini Gordang Sambilan).
Kaitan antara materi pembentuk (ekologis) dan ritual (simbol) menciptakan suatu kondisi sosial yang terlegitimasi kepada penggunaan Gondang Sambilan yang sarat nilai-nilai ritual-magis. Gondang Sambilan memiliki hubungan ritual, dimana ideologi Gordang Sambilan didasarkan pada interaksi antara masyarakat (manusia) dengan Tuhan (Dewata ataupun penguasa alam) yang diaplikasikan pada bentuk Gondang Sambilan yang besar dari segi ukuran dan suara yang menggemuruh, kesemua hal tersebut bertujuan mendukung korelasi interaksi antara manusia dan “penguasa alam”, yang digambarkan secara umum sebagai sosok yang memiliki kelebihan dari mahluk secara manusiawi. Gondang Sambilan berdasarkan ekologis materi pembentuknya terbuat dari kayu ingul (Ruta Angustifola) yaitu sejenis kayu hutan dengan dinding serat yang tebal dan tidak mudah pecah serta memiliki ketahanan terhadap air. Pilihan rasional atas materi pembentuk Gondang Sambilan memberi petunjuk bahwa nenek moyang Batak-Mandailing pada masa itu telah memiliki pengetahuan yang cukup memadai atas materi pembentuk Gondang Sambilan yang kuat, tahan lama dan juga sebagai pemberian guna kembali kepada roh leluhur atas limpahan kekayaan alam.
Gondang Sambilan sebagai bentuk alat musik pukul (membranophone) merupakan identitas musik yang dimiliki oleh masyarakat Batak-Mandailing, Gondang Sambilan memiliki karakteristik sebagai alat musik pukul yang berasal dari Sumatera Utara Gondang Sambilan secara harfiah berarti sembilan buah gendang, Sembilan buah gendang yang terkait dengan instrumen musik lainnya, pengertian Gondang Sambilan merupakan penjelasan yang mencakup keseluruhan ensambel Gondang Sambilan termasuk gong, simbal, dan alat musik tiup masyarakat Mandailing Pengertian secara harfiah gondang mengandung beberapa arti: (1) alat musik; (2) nama lagu atau repertoar; (3) komposisi musik; (4) jenis musik tertentu; dan (5) sebagai musik itu sendiri. Istilah Gondang, ada kaitanya dengan sistem bercocok tanam orang Mandailing di hauma (berladang di bukit-bukit, baik tanaman palawija maupun padi). Dalam bercocok tanam di hauma ini, ada satu alat semacam "tugal" yang disebut ordang yang digunakan untuk melubangi tanah, setelah tanah berlubang barulah biji-biji tanaman dimasukkan ke dalam tanah dan kemudian ditutup seperlunya dengan tanah. Proses kegiatan bercocok tanam ini disebut mangordang, sedangkan Siregar (1977:87) mendefinisikan Gondang merupakan gendang, dalam arti gondang tunggu-tunggu dua, Gondang adalah gendang, dalam artian sebagai gendang besar (dalam hal ini Gordang Sambilan).
Kaitan antara materi pembentuk (ekologis) dan ritual (simbol) menciptakan suatu kondisi sosial yang terlegitimasi kepada penggunaan Gondang Sambilan yang sarat nilai-nilai ritual-magis. Gondang Sambilan memiliki hubungan ritual, dimana ideologi Gordang Sambilan didasarkan pada interaksi antara masyarakat (manusia) dengan Tuhan (Dewata ataupun penguasa alam) yang diaplikasikan pada bentuk Gondang Sambilan yang besar dari segi ukuran dan suara yang menggemuruh, kesemua hal tersebut bertujuan mendukung korelasi interaksi antara manusia dan “penguasa alam”, yang digambarkan secara umum sebagai sosok yang memiliki kelebihan dari mahluk secara manusiawi. Gondang Sambilan berdasarkan ekologis materi pembentuknya terbuat dari kayu ingul (Ruta Angustifola) yaitu sejenis kayu hutan dengan dinding serat yang tebal dan tidak mudah pecah serta memiliki ketahanan terhadap air. Pilihan rasional atas materi pembentuk Gondang Sambilan memberi petunjuk bahwa nenek moyang Batak-Mandailing pada masa itu telah memiliki pengetahuan yang cukup memadai atas materi pembentuk Gondang Sambilan yang kuat, tahan lama dan juga sebagai pemberian guna kembali kepada roh leluhur atas limpahan kekayaan alam.
Dahulunya materi pembentuk Gondang Sambilan dipilih dari
beberapa kayu yang ditebang dan diambil dari beberapa hutan serta gunung,
kearifan tradisional ini bertujuan melindungi penggunaan hutan secara berlebih
sehingga dalam pengambilan pohon tersebut disertai dengan ritual-ritual dan
pembacaan mantra tertentu yang ditujukan kepada roh nenek moyang agar
mengizinkan pohon tersebut ditebang.
Alat musik Gondang Sambilan sudah ada di Kabupaten
Mandailing Natal sejak ratusan tahun silam. Sebelum agama masuk ke Mandailing,
pertunjukan Gondang Sambilan dilakukan untuk ritual kepercayaan. Namun sekarang
alat musik ini dimainkan untuk upacara pernikahan adat, hajatan, perayaan,
penyambutan tamu dan hiburan untuk masyarakat Mandailing. Pada zaman dulu
Gondang Sambilan hanya dipertunjukan untuk kalangan istana. Setelah kemerdekaan
barulah dipertunjukan untuk masyarakat umum.
Pada masa kolonial, kesenian ini menjadi hiburan para raja
dan sebagai bentuk perlawanan terhadap kompeni Belanda. Ada bunyi tertentu yang
ditabuh, menandakan kedatangan serdadu Belanda dan masyarakat diminta untuk
segera mengungsi. Lalu ada tanda bunyi lainnya yang meminta masyarakat untuk
kembali ke kampung karena serdadu belanda sudah pergi.
Ada beberapa versi yang menjelaskan mengapa ada kata
“sambilan” atau angka sembilan yang menjelaskan jumlah gordang atau gendang.
Seperti pada masa kerajaan dahulu, pemukul Gondang harus berjumlah sembilan
orang, terdiri dari naposo bulung atau kaum muda, anak boru,
kahanggi, serta raja itu sendiri.
Versi lain menyebutkan bahwa angka sembilan melambangkan
sembilan raja yang saat itu berkuasa di tanah Mandailing Natal, yakni Nasution,
Pulungan, Rangkuti, Hasibuan, Lubis, Matondang, Parinduri, Daulay, dan
Batubara.
Perkembangan Alat Musik Gondang Sambilan
Dahulu orang-orang membuat sembilan lubang di tanah, lalu
lubang-lubang tersebut ditutup dengan kulit kerbau sehingga menghasilkan
bunyi-bunyian ketika ditepuk. Kini, alat musik Gondang Sambilan berkembang,
masyarakat mengganti tanah dengan kayu. Kayu yang digunakan juga khusus untuk
membuat gondang agar bunyi yang dihasilkan bagus. Selain itu, dulu, berdasarkan
adat hanya laki-laki yang boleh memainkan alat musik ini. Tetapi bila sekarang
ada perempuan yang ingin memainkan musik tersebut diperbolehkan.
Musik Gondang Sambilan oleh sembilan orang. Alat musik yang
dimainkan terdiri atas sembilan gondang, seruling, tiga eneng-eneng, dua gong,
sepasang sasayang, dan sebuah mong-mongan.
Kegunaan Gondang Sambilan
Pada hakikatnya fungsi dan
kegunaan Gondang sambilan tidak berubah namun pada zaman sekarang penggunaannya lebih
luas
seiring dengan perkembangan musik yang di kenal pada
saat sekarang ,dimana gondang sambilan ini dapat tergolong ke dalam
musik kontemporer dalam beberapa pergelaran musik yang diselenggarakan.
Sedangkan penggunaannya dalam upacara adat, Gondang
Sambilan dimainkan pada upacara perkawinan yang dinamakan Orja Gondang
Markaroan Boru dan upacara kematian yang dinamakan Orja Mambulungi.
Penggunaan Gondang Sambilan untuk kedua upacara adat tersebut, karena
untuk kepentigan pribadi maka harus lebih dahulu mendapat izin dari pemimpin
tradisional yang dinamakan Namora Natoras dan Raja Panusunan Bulung
sebagai kepala pemerintahan Huta/Banua. Permohonan izin itu dilakukan
melalui suatu musyawarah adat yang disebut Markobar Adat yang dihadiri
oleh tokoh-tokoh Namora Natoras dan Raja Panusunan Bulung beserta
pihak yang akan menyelenggarakan upacara adat. Selain harus mendapat izin dari Namora
Natoras dan Raja Panusunan Bulung untuk penggunaan Gondang
Sambilan dalam kedua upacara tersebut, harus pula disembelih paling sedikit
satu ekor kerbau jantan dewasa yang disebut longit. Jika persaratan
tersebut tidak dipenuhi maka Gondang Sambilan tidak boleh digunakan.
Dapat ditambahkan bahwa untuk upacara kematian (Orja Manbulungi), gondang
yang digunakan hanya dua buah yang terbesar yang dinamakan Jangat, namun
dalam konteks penyelenggaraan upacara kematian dinamakan Bombat.